Seni Rupa Tradisional: Sejarah, Ciri-ciri, dan Contohnya, Pengertian songket, ulos, dan lurik.

Seni tradisi adalah seni yang menjadi bagian hidup masyarakat suatu suku bangsa tertentu. Pada awalnya seni tradisi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari acara atau upacara ritual, baik di lingkungan istana maupun di kalangan masyarakat awam.

Pada suatu saat dapat saja seni tradisi musnah, lenyap ditelan zaman tidak lagi ditampilkan, disebabkan keengganan dan ketidakmauan masyarakat untuk melestarikan maupun mengikuti tradisi tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman yang mana kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berimbas pada meningkatnya taraf hidup masyarakat, tingkat kemakmuran yang semakin tinggi dengan efek adanya kompetisi di berbagai bidang menuntut adanya efisiensi, kepraktisan dalam segala hal, serba instan, praktis, dari sinilah bermula semakin memudarnya seni tradisi yang semakin kurang diminati masyarakat. Diperlukan kearifan dari para pemangku kepentingan di bidang seni tradisi untuk menyiasati perubahan tersebut dan rasa memiliki serta kepedulian masyarakat sehingga seni tradisi tetap diminati masyarakat, menjadi kebanggaan masyarakat.
Seni Rupa Tradisi dikelompokkan menjadi karya seni rupa dua dimensi tradisi, karya seni rupa tiga dimensi tradisi, dan karya seni kriya tradisi.

1. Karya Seni Kriya Tradisi
Seni kriya adalah cabang seni rupa yang proses pembuatannya sangat memerlukan keahlian yang tinggi (craftsmanship), sehingga seniman hampir tidak dapat menyisihkan perhatiannya untuk berekspresi. Seni kriya termasuk seni rupa terapan (applied art/useful art) yang lebih mengedepankan aspek nilai guna dan keindahan/estetika bagi kehidupan manusia. Aspek kegunaan atau fungsi menyangkut nilai praktis dari produk kriya, sehingga proses pembuatannya memerlukan pertimbangan seperti kenyamanan, keluwesan keindahan, keamanan.

Kenyamanan diperoleh apabila mempertimbangkan faktor ergonomi, yakni dalam rancangannya memperhitungkan ukuran dan bentuk yang sesuai dengan ukuran proporsi anatomi manusia. Aspek keluwesan diperoleh apabila rancangannya mempertimbangkan fungsi benda kriya, hubungan antara bentuk benda dengan nilai gunanya.

Aspek keamanan berkaitan juga dengan faktor ergonomi yaitu agar tidak mencelakakan atau melukai pemakainya. Aspek keindahan atau estetika juga berperan penting dalam merancang sebuah benda kriya. Nilai keindahan akan memberi makna kebanggaan bagi pemilik atau pemakainya. Aspek bahan berpengaruh pada penentuan teknik, bentuk dan kualitas dari benda kriya yang dibuat. Pemakaian bahan alami seperti kulit, kayu, kapas dan sebagainya umum digunakan.

Karya seni kriya tradisi selain mempertimbangkan aspek di atas juga yang paling penting adalah pertimbangan aspek filosofis. Contohnya pada wayang kulit, pembuatnya harus memahami betul tentang aturan baku (pakem) pembuatan wayang kulit, mulai dari menggambar/menyeket, mempola figur wayang kulit, memahat, mewarnai, finishing akhir dan sebagainya, pembuat harus mengikuti pedoman baku pembuatan wayang kulit tersebut. Kemungkinan perubahan bisa berlaku apabila wayang kulit yang dibuat merupakan karya kreasi baru, gubahan atau karya kontemporer.


Tenunan tradisi memiliki aturan baku. Dalam menenun tradisi pun, seorang penenun juga terikat dengan aturan baku tersebut, seperti misalnya dalam penentuan motif tenunan, seperti tampak pada tenunan ulos dan songket.

Batik tradisi pun memiliki motif-motif baku sesuai daerah masing-masing, seperti motif Lasem, Banyumas, Pekalongan, Surakarta, Madura, dan sebagainya.
Motif Hias (ornamen) tradisi juga memiliki aturan baru (pakem) sesuai daerahnya masing-masing. Seperti motif hias pada ukiran yang diterapkan pada produk furniture misalnya kursi, meja, almari, dan tempat tidur. Motif ukirannya antara lain Jepara, Bali, Pajajaran, Palembang, Minangkabau, Batak, Kalimantan, ukiran Asmat, dan Toraja. Masing-masing memiliki bentuk motif hias (ornamen) baku.

Kekayaan beragam hasil seni tradisi di Indonesia sudah sepatutnya untuk dijaga, dilestarikan, dikembangkan dan dijadikan sumber kebudayaan nasional Indonesia.

a. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang berkembang khususnya di Jawa. Istilah wayang dari kata Ma Hyang, artinya menuju kepada roh spiritual, dewa atau Tuhan yang Maha Esa. Namun ada juga yang mengartikan “bayangan”, bahasa Inggrisnya shadow plays, permainan bayangan, puppet artinya boneka.
Sengkuni 
(wayang purwa dari Sumenep)

Pertunjukan wayang kulit dilakukan oleh seorang dalang, sebagai narator dialog dari tokoh pewayangan yang dimainkan, diiringi dengan orkestra musik gamelan yang dimainkan oleh sekelompok pengiring/nayaga dan nyanyian oleh pesinden.


Permainan wayang dilakukan dibalik kelir (layar yang terbuat dari kain putih), disoroti lampu listrik (dahulu lampu minyak yang disebut blencong). Para penonton melihat bayangan yang jatuh di kelir. Tema atau cerita pewayangan diambil dari naskah Mahabharata, Ramayana dan cerita Panji.

Wayang oleh Badan PBB UNESCO ditetapkan sebagai “Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 7 Nopember 2003. Secara fisik, wujud wayang kulit dibuat dari lembaran kulit kerbau yang telah disamak. Lembaran kulit kerbau tersebut lalu dipahat dengan menggunakan tatah (besi berujung runcing) dalam berbagai bentuk dan ukuran serta berbeda fungsinya.

Menatah (membuat lubang ukiran pada lembar kulit), mewarnai, menghias dengan motif ornamen yang telah baku, merekonstruksi, memasang bagian anatomi tubuh wayang seperti tangan, lengan bagian atas dan siku, disambung memakai sekrup kecil terbuat dari tanduk kerbau.

b. Tenunan Tradisi
Menenun adalah proses pembuatan barang-barang tenun (kain) dari persilangan dua set benang dengan cara memasuk-masukkan benang pakan secara melintang pada benang-benang lungsin (benang lusi). Sebelum menenun dilakukan penghanian, yaitu pemasangan benang-benang lungsin secara sejajar satu sama lainnya di alat tenun sesuai lebar kain yang diingini. Alat tenun dipakai untuk memegang helai-helai benang lungsin. Pola silang menyilang antara benang lungsin dan benang pakan disebut anyaman. Sebagian besar produk tenun menggunakan tiga teknik anyaman yaitu anyaman polos, anyaman satin dan anyaman keper.

Kerajinan tenun tradisi Indonesia antara lain songket, ulos, dan lurik.

Berikut adalah merupakan bagan untuk berkarya seni tradisi membuat tenun. Benang lungsin (membujur vertikal, warna merah) dan benang pakan (melintang horizontal, biru) dalam anyaman polos.

Bagan tenun lungsi dan pakan
Proses menenun

1) Songket
Istilah “Songket” berasal dari kata “Tusuk” dan “Cukit” yang diakronimkan menjadi “Sukit”, lalu berubah menjadi “Sungki” dan akhirnya menjadi “Songket”. Songket adalah kain tenun yang dibuat dengan teknik menambah benang pakan sebagai hiasan dengan menyisipkan benang perak, emas atau benang warna di atas benang lungsin. Menurut sejarahnya tenun songket berasal dari China, India dan Arab. Hubungan perdagangan yang intens antara kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan-kerajaan di wilayah China, India, dan Arab, maka teknologi pembuatan kain tenun tersebut diserap oleh masyarakat di wilayah kerajaan Sriwijaya (Sumatera Selatan dan sekitarnya) hingga dikenal sekarang sebagai tenunan songket.

Karena memiliki nilai yang begitu tinggi di masyarakat, maka kain songket hanya dipergunakan untuk acara yang sangat penting dan sakral, seperti untuk upacara adat perkawinan, penyambutan tamu (pejabat) dari luar. Seiring dengan perkembangan zaman, tenunan songket juga diaplikasikan untuk beragam produk kerajinan seperti taplak meja, sprei, hiasan dinding, kipas, baju, selendang, kursi bantal, bahan kemeja, tussor (bahan tenun diagonal) dan lainnya. Selain di Sumatera Selatan, tenunan songket juga dibuat di daerah lain seperti di Sumatera Barat.

BACA JUGA: 

2) Ulos
Menurut arti kata, ulos berarti kain, disebut juga kain ulos. Ulos adalah salah satu busana khas Indonesia yang secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak Sumatera. Teknik pembuatannya menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Filosofi Ulos melambangkan kasih sayang antara orang tua dan anaknya serta orang dengan orang lain. Awalnya ulos digunakan untuk menghangatkan tubuh. ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak.
Kain Ulos dari batak 'Ragidup'

Setiap ulos memiliki ‘raksa’ sendiri-sendiri, artinya memiliki sifat, keadaan, fungsi dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Ungkapan ‘mengulosi’, artinya memberi Ulos atau menghangatkan dengan ulos. Dalam hal mengulosi, ada ketentuan yang wajib dipatuhi, yakni orang hanya boleh mengulosi mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, seperti orang tua mengulosi anaknya, tetapi tidak boleh seorang anak mengulosi orang tuanya.

Seiring perkembangan zaman, corak, dan motif ulos digunakan untuk membuat kreasi baru seperti baju, gaun.


Subscribe to receive free email updates: