Terima kasih atas kunjungan anda, disini saya akan share beberapa file yang saya miliki, semuanya ini adalah beberapa file yang saya peroleh ketika mengikuti beberapa acara seminar yang duselenggarakan oleh kampus saya semasa kuliah dulu Universitas Negeri Surabaya / UNESA.
Kesenian, peran dan sumbangannya terhadap pembentukan karakter bangsa
Kesenian, baik itu karya (ciptaan) seni maupun sajian (pagelaran dari satu karyanya sendiri atau karya orang lain) adalah salah satu bentuk ungkapan atau ekspresi kejiwaan dari seorang atau sekelompok seniman yang ingin disampaikan kepada orang lain atau masyarakat. Ungkapan itu bisa merupakan ekspresi emosi, perasaan, maupun pesan apapun, seperti nilai kemanusiaan (etika, estetika dan religius) dan bisa juga berupa propaganda politik dan ekonomi dan sebagainya, dari atau oleh sang pencipta atau seseorang (sekelompok) seniman terhadap orang lain, baik secara langsung maupun lewat rekaman maupun media lain, seperi radio, televisi atau jaringan/dunia maya. Kesenian adalah salah satu bentuk komunikasi dalam bentuk stilasi, simbul, metaforora, atau apa saja, suatu bahasa yang belum tentu verbal, namun bahasa ungkap yang lebih sering menggunakan penafsiran. Kesenian memiliki kekayaan bahasa ungkap yang sangat kaya, karena seniman selain bisa menggunakan symbol atau idiom yang sudah disepakati oleh atau konvensi masyarakat tertentu, menggunakan bahasa (verbal) sehari hari yang biasa digunakan oleh manusia, namun juga menggunakan bahasa lain seperti bahasa isyarat, bahasa tubuh, symbol, ikon, metafor yang disepakati atau dimengerti oleh kalangan atau masyarakat tertentu. Seniman bahkan dapat dan sering membuat sendiri bahasa ungkap (idiom) dan cara (metode) mengungkapkan pesan (massage) atau isi (content) terhadap audience atau khalayaknya. Bahasa atau idiom seni yang baru itulah, yang biasa disebut dengan kreativitas atau inovatif, yang di dunia kesenian merupakan suatu keharusan bahkan kredo bagi seorang seniman.
Karena seniman menggunakan bentuk dan bahasa yang baru, yang sifatnya khusus dan hampir tidak pernah sama antara seniman yang satu dengan yang lain dan tidak juga sama dengan bentuk dan bahasa yang dipakai oleh masyarakat sehari hari, dengan demikian sering kali masyarakat (atau orang) lain kemungkinan besar menemui kesulitan bahkan tidak “mengerti” tentang isi atau pesan yang ingin disampaikan oleh sang seniman pada saat mereka menonton atau mendengar sajian atau pameran karya seni. Dengan kata lain, boleh jadi ada pemahaman yang berbeda, antara penikmat seni dengan maksud dan tujuan (karya) seni dari pengkarya pada saat (proses) komunikasi berlangsung. Namun hal tersebut bukan dianggap sebagai kesalahan, justru sebaliknya hal tersebut dapat disebut sebagai kekayaan. Hal tersebut wajar, tidak menjadi masalah dan justru malah “diinginkan” oleh dunia kesenian atau kesenimanaan. Dalam komunikasi seni sering terjadi penafsiran yang beragam. Kesenian bersifat bertafsir ganda, jamak atau multi interpretable. Dengan demikian dalam menikmati kesenian, penonton, pendengar, penikmat, penghayat diharapkan juga bersikap aktif, dan kreatif. Penghayat perlu berimajinasi, melakukan asosiasi, menghubung hubungkan fenomena yang mereka lihat atau dengar atau raba atau yang mereka bau (cium), mereka reka sendiri dan menghubung hubungkan dengan pengalamannya, termasuk pengalaman batin sendiri, memberi tafsir, arti, makna yang diharapkan bisa digunakan untuk kebutuhan dan keperluan mereka sendiri. Kesenian dianggap sebagai bermutu ketika ia mampu memberi pengayaan pengalaman batin atau jiwa dari penghayat. Dalam dunia kesenian terhadap semacam pameo bahwa apabila sebuah karya seni mudah ditafsir atau difahami oleh penghayatnya, maka kesenian tersebut dianggap dangkal, bernilai rendah, dan dengan demikian harganyapun murah. Sebagai contoh lukisan atau patung realis/naturalis biasanya harganya lebih murah, jauh di bawah kesenian gaya lain, termasuk lukisan astrak.
Kesenian memiliki media, sarana atau unsur dan bahasa ungkap (ungkap) yang kaya nyaris tidak terbatas, baik bentuk, jenis, ragam, kwalitas dan kekuatannya . sebagai contoh ketika kita bicara tentang seni tari, media utamanya adalah gerak. Pada gerak sendiri ada unsur unsur arah, tujuan, bentuk, volume, level, kecepatan, ritme, komposisi, dan sebagainya. Kemudian dalam karya tari ada media lain, seperti contoh bunyi (musik). Di dalam musik ada unsur unsur nada, suara, interval, timbre, ritme, ruang, volume, irama, harmoni, dan sebagainya. Belum kita bicara tentang kostum, cahaya, warna, dan sebagainya, yang juga merupakan bagian yang tek terpisahkan dari seni tari. Setiap unsur dapat “berbicara” dengan menggunakan bahasa dan idiom mereka masing masing. Hal yang sama bisa berlaku pula pada cabang seni lain. Kesenian di Indonesia pada umumnya dan pada dasarnya adalah multi media. Seni tari tidak bisa dipisahkan dengan seni musik, seni pewayangan tidak bisa dipisahkan dengan seni rupa, seni musik, seni sastra, seni tari, seni teater, arsitektur dan sebagainya. Demikian pula pada seni film, teater, musical dan sebagaianya. Bahkan ilmu, terutama sosial budaya, ekonomi, manaajemen dan teknologi juga terlibat. Karena itu, ketika seseorang menikmati sajian suatu karya atau sajian kesenian diharapkan akan memperoleh hayatan atau pengalaman jiwa yang sangat kaya dan beragam. Konon, makin beragam makna dan atau hayatan yang bisa didapat atau tercerna oleh audience atau masyarakat, maka makin berkwalitas lah karya seni tersebut. Itulah karya karya seni yang “bukan realis”, atau abstrak, walau mungkin membingungkan atau tidak mudah dimengerti, hampir dipastikan lebih mahal harganya dibanding dengan karya karya realis. Dalam karya seni, terutama yang melibatkan lebih dari orang ada konsep yang yang disebut dengan garap. Materi atau media adalah bahan mentah yang tidak dapat ditampilkan apa adanya namun perlu diolah, perlu sentuhan kreatif yang disebut dengan garap atau “treatment” sehingga sebuah karya mampu berbicara dan memiliki makna yang kaya dan bermanfaat bagi kehidupan dan atau kemaslahatan manusia.
Tulisan di atas sekedar pengantar, bahwa apapun cabang, bentuk, jenis, genre, gaya, asal dan oleh siapapun pada dasarnya adalah bentuk ekspresi yang mewakili siapapun yang mengekspresikannya, bisa perseorangan maupun kelompok, - masyarakat atau bangsa. Kesenian sering disebut sebagai cermin atau lebih tepatnya sebagai refleksi dari seseorang, sekelompok orang, suatu masyarakat atau suatu bangsa dan bahkan suatu Negara tertentu. Dengan demikian munculah predikat predikat tari Bali, tari Jawa, musik Jepang, musik India, dan sebagainya. Kabuki, dan Noh merupakan jenis teater yang dianggap sebagai trade marknya bangsa atau Negara Jepang. Refleksi dari kelompok atau masyarakat tertentu itulah kemudian memunculkan stigma stigma terhadap beberapa jenis kesenian yang kadang hanya dilihat dari satu sisi saja. Seperti musik Jawa disebut kesenian yang membuat ngantuk, musik Sunda melankolis, musik Bali bising, kesenian kraton adiluhung, kesenian desa kasar, musik Dayak primitif dan sebagainya.
Stigma stigma yang baru kami sebut sebagai contoh tersebut, sebenarnyalah salah satu karakter yang dimiliki oleh satu jenis, satu cabang, satu genre atau satu etnik atau satu bangsa tertentu yang biasanya disebut oleh fihak atau etnik atau bangsa lain untuk kepentingan tertentu. Paling sering stigma diberikan pada kesenian lain untuk membandingkan, mediskreditkan atau menunjukkan bahwa kesenian yang milik kelompok atau bangsanya adalah lebih baik dari kesenian mereka. Sebagai contoh saya ingin menunjuk kesenian suku saya sendiri. Orang jawa menyebut bahwa seni budaya Jawa adalah kesenian yang adiluhung, halus, ramah dan sopan santun. Ketika orang Jawa melihat orang barat yang bertolak pinggang, tidak membungkuk ketika lewat dihadapannya, memanggil orang lain dengan langsung memanggil namanya tanpa sebutan mas atau pak, bercelana pendek, musiknya yang ngak ngik ngok dan bising, dan sebagainya, kemudian sebagian orang kita menyebut orang barat sebagai bangsa yang tidak sopan. Mereka tidak melihat secara menyeluruh bahwa mereka sangat menghargai orang lain, bahkan binatang. Mereka demokratis, tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain, dan sebaginya dan sebagainya. Sayang untuk mengangkat citra bangsanya, sering kali suatu (suku) bangsa melihat hanya dengan sebelah mata seni/budaya (suku) bangsa lainnya dan bahkan memberi predikat negatif, seperti kasar, membuat kantuk, bising dan sebagainya. Hal ini terutama terjadi pada masa sebelum Indonesia merdeka, di mana hubungan antar suku bangsa, antar agama, dan antar golongan memang masih ada masalah, atau sengaja dibikin ada masalah untuk kepentingan kelompok tertentu. Seperti contoh sampai tahun 50-an, biasanya orang Jawa akan mematikan radio/tv-nya atau memindahkan chanelnya ketika terdapat siaran musik Sunda atau Bali. Demikian pula sebaliknya.
Situasi mulai membaik dengan mulai diresapinya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Wawasan Nusantaranya. Namun kendala masih saja cukup besar ketika di negeri kita ini masih miskin dengan informasi yang baik dan benar tentang hal ihwal kesenian atau kebudayaan di luar kesenian bangsanya sendiri, bahkan kesenian “Nusantara” atau kesenian Indonesia apapun selain kesenian jenis pop hiburan. Selain buku, publikasi hasil penelitian masih sangat langka, media cetak maupun elektronik memang tidak berfihak pada kesenian tradisional Nusantara maupun kesenian kontemporer Indonesia. Buku hasil penelitian-pun sebagian besar ditulis oleh peneliti asing (baca peneliti dari Amerika, Eropa, Australia atau Jepang) yang beberapa dilihat dari sudut pandang mereka atau untuk kepentingan mereka dan ditulis dalam bahasa asing. Ironisnya orang orang (terutama mahasiswa dan sebagian besar sarjana Indonesia), juga lebih percaya dan mengacu pada tulisan mereka. Mengacu tulisan orang kita sendiri, walau sang penulis adalah orang professional yang menggeluti bidangnya selama puluhan tahun, melakukannya dan bahkan yang menciptakannya. Informasi itulah yang sebenarnya merupakan sumber primer, namun tetap saja sering dipandang sebelah mata, karena mengacu tulisan orang Indonesia disebut sebagai local, oleh karenanya dianggap kurang bergengsi.
Sumber: MakalahSN/Pend.Seni2011/R.Supanggah/ISI Surakarta
Karena seniman menggunakan bentuk dan bahasa yang baru, yang sifatnya khusus dan hampir tidak pernah sama antara seniman yang satu dengan yang lain dan tidak juga sama dengan bentuk dan bahasa yang dipakai oleh masyarakat sehari hari, dengan demikian sering kali masyarakat (atau orang) lain kemungkinan besar menemui kesulitan bahkan tidak “mengerti” tentang isi atau pesan yang ingin disampaikan oleh sang seniman pada saat mereka menonton atau mendengar sajian atau pameran karya seni. Dengan kata lain, boleh jadi ada pemahaman yang berbeda, antara penikmat seni dengan maksud dan tujuan (karya) seni dari pengkarya pada saat (proses) komunikasi berlangsung. Namun hal tersebut bukan dianggap sebagai kesalahan, justru sebaliknya hal tersebut dapat disebut sebagai kekayaan. Hal tersebut wajar, tidak menjadi masalah dan justru malah “diinginkan” oleh dunia kesenian atau kesenimanaan. Dalam komunikasi seni sering terjadi penafsiran yang beragam. Kesenian bersifat bertafsir ganda, jamak atau multi interpretable. Dengan demikian dalam menikmati kesenian, penonton, pendengar, penikmat, penghayat diharapkan juga bersikap aktif, dan kreatif. Penghayat perlu berimajinasi, melakukan asosiasi, menghubung hubungkan fenomena yang mereka lihat atau dengar atau raba atau yang mereka bau (cium), mereka reka sendiri dan menghubung hubungkan dengan pengalamannya, termasuk pengalaman batin sendiri, memberi tafsir, arti, makna yang diharapkan bisa digunakan untuk kebutuhan dan keperluan mereka sendiri. Kesenian dianggap sebagai bermutu ketika ia mampu memberi pengayaan pengalaman batin atau jiwa dari penghayat. Dalam dunia kesenian terhadap semacam pameo bahwa apabila sebuah karya seni mudah ditafsir atau difahami oleh penghayatnya, maka kesenian tersebut dianggap dangkal, bernilai rendah, dan dengan demikian harganyapun murah. Sebagai contoh lukisan atau patung realis/naturalis biasanya harganya lebih murah, jauh di bawah kesenian gaya lain, termasuk lukisan astrak.
Kesenian memiliki media, sarana atau unsur dan bahasa ungkap (ungkap) yang kaya nyaris tidak terbatas, baik bentuk, jenis, ragam, kwalitas dan kekuatannya . sebagai contoh ketika kita bicara tentang seni tari, media utamanya adalah gerak. Pada gerak sendiri ada unsur unsur arah, tujuan, bentuk, volume, level, kecepatan, ritme, komposisi, dan sebagainya. Kemudian dalam karya tari ada media lain, seperti contoh bunyi (musik). Di dalam musik ada unsur unsur nada, suara, interval, timbre, ritme, ruang, volume, irama, harmoni, dan sebagainya. Belum kita bicara tentang kostum, cahaya, warna, dan sebagainya, yang juga merupakan bagian yang tek terpisahkan dari seni tari. Setiap unsur dapat “berbicara” dengan menggunakan bahasa dan idiom mereka masing masing. Hal yang sama bisa berlaku pula pada cabang seni lain. Kesenian di Indonesia pada umumnya dan pada dasarnya adalah multi media. Seni tari tidak bisa dipisahkan dengan seni musik, seni pewayangan tidak bisa dipisahkan dengan seni rupa, seni musik, seni sastra, seni tari, seni teater, arsitektur dan sebagainya. Demikian pula pada seni film, teater, musical dan sebagaianya. Bahkan ilmu, terutama sosial budaya, ekonomi, manaajemen dan teknologi juga terlibat. Karena itu, ketika seseorang menikmati sajian suatu karya atau sajian kesenian diharapkan akan memperoleh hayatan atau pengalaman jiwa yang sangat kaya dan beragam. Konon, makin beragam makna dan atau hayatan yang bisa didapat atau tercerna oleh audience atau masyarakat, maka makin berkwalitas lah karya seni tersebut. Itulah karya karya seni yang “bukan realis”, atau abstrak, walau mungkin membingungkan atau tidak mudah dimengerti, hampir dipastikan lebih mahal harganya dibanding dengan karya karya realis. Dalam karya seni, terutama yang melibatkan lebih dari orang ada konsep yang yang disebut dengan garap. Materi atau media adalah bahan mentah yang tidak dapat ditampilkan apa adanya namun perlu diolah, perlu sentuhan kreatif yang disebut dengan garap atau “treatment” sehingga sebuah karya mampu berbicara dan memiliki makna yang kaya dan bermanfaat bagi kehidupan dan atau kemaslahatan manusia.
Tulisan di atas sekedar pengantar, bahwa apapun cabang, bentuk, jenis, genre, gaya, asal dan oleh siapapun pada dasarnya adalah bentuk ekspresi yang mewakili siapapun yang mengekspresikannya, bisa perseorangan maupun kelompok, - masyarakat atau bangsa. Kesenian sering disebut sebagai cermin atau lebih tepatnya sebagai refleksi dari seseorang, sekelompok orang, suatu masyarakat atau suatu bangsa dan bahkan suatu Negara tertentu. Dengan demikian munculah predikat predikat tari Bali, tari Jawa, musik Jepang, musik India, dan sebagainya. Kabuki, dan Noh merupakan jenis teater yang dianggap sebagai trade marknya bangsa atau Negara Jepang. Refleksi dari kelompok atau masyarakat tertentu itulah kemudian memunculkan stigma stigma terhadap beberapa jenis kesenian yang kadang hanya dilihat dari satu sisi saja. Seperti musik Jawa disebut kesenian yang membuat ngantuk, musik Sunda melankolis, musik Bali bising, kesenian kraton adiluhung, kesenian desa kasar, musik Dayak primitif dan sebagainya.
Stigma stigma yang baru kami sebut sebagai contoh tersebut, sebenarnyalah salah satu karakter yang dimiliki oleh satu jenis, satu cabang, satu genre atau satu etnik atau satu bangsa tertentu yang biasanya disebut oleh fihak atau etnik atau bangsa lain untuk kepentingan tertentu. Paling sering stigma diberikan pada kesenian lain untuk membandingkan, mediskreditkan atau menunjukkan bahwa kesenian yang milik kelompok atau bangsanya adalah lebih baik dari kesenian mereka. Sebagai contoh saya ingin menunjuk kesenian suku saya sendiri. Orang jawa menyebut bahwa seni budaya Jawa adalah kesenian yang adiluhung, halus, ramah dan sopan santun. Ketika orang Jawa melihat orang barat yang bertolak pinggang, tidak membungkuk ketika lewat dihadapannya, memanggil orang lain dengan langsung memanggil namanya tanpa sebutan mas atau pak, bercelana pendek, musiknya yang ngak ngik ngok dan bising, dan sebagainya, kemudian sebagian orang kita menyebut orang barat sebagai bangsa yang tidak sopan. Mereka tidak melihat secara menyeluruh bahwa mereka sangat menghargai orang lain, bahkan binatang. Mereka demokratis, tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain, dan sebaginya dan sebagainya. Sayang untuk mengangkat citra bangsanya, sering kali suatu (suku) bangsa melihat hanya dengan sebelah mata seni/budaya (suku) bangsa lainnya dan bahkan memberi predikat negatif, seperti kasar, membuat kantuk, bising dan sebagainya. Hal ini terutama terjadi pada masa sebelum Indonesia merdeka, di mana hubungan antar suku bangsa, antar agama, dan antar golongan memang masih ada masalah, atau sengaja dibikin ada masalah untuk kepentingan kelompok tertentu. Seperti contoh sampai tahun 50-an, biasanya orang Jawa akan mematikan radio/tv-nya atau memindahkan chanelnya ketika terdapat siaran musik Sunda atau Bali. Demikian pula sebaliknya.
Situasi mulai membaik dengan mulai diresapinya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Wawasan Nusantaranya. Namun kendala masih saja cukup besar ketika di negeri kita ini masih miskin dengan informasi yang baik dan benar tentang hal ihwal kesenian atau kebudayaan di luar kesenian bangsanya sendiri, bahkan kesenian “Nusantara” atau kesenian Indonesia apapun selain kesenian jenis pop hiburan. Selain buku, publikasi hasil penelitian masih sangat langka, media cetak maupun elektronik memang tidak berfihak pada kesenian tradisional Nusantara maupun kesenian kontemporer Indonesia. Buku hasil penelitian-pun sebagian besar ditulis oleh peneliti asing (baca peneliti dari Amerika, Eropa, Australia atau Jepang) yang beberapa dilihat dari sudut pandang mereka atau untuk kepentingan mereka dan ditulis dalam bahasa asing. Ironisnya orang orang (terutama mahasiswa dan sebagian besar sarjana Indonesia), juga lebih percaya dan mengacu pada tulisan mereka. Mengacu tulisan orang kita sendiri, walau sang penulis adalah orang professional yang menggeluti bidangnya selama puluhan tahun, melakukannya dan bahkan yang menciptakannya. Informasi itulah yang sebenarnya merupakan sumber primer, namun tetap saja sering dipandang sebelah mata, karena mengacu tulisan orang Indonesia disebut sebagai local, oleh karenanya dianggap kurang bergengsi.
Sumber: MakalahSN/Pend.Seni2011/R.Supanggah/ISI Surakarta
Tags:
makalah