Batik Lasem, Hasil Kombinasi Antara Dua Budaya | Cina Indo

Batik salah satu kesenian asli Indonesia sudah diakui dunia Internasional melalui lembaga UNESCO. Batik di Indonesia terdiri dari dua jenis, yaitu batik kraton dan batik pesisiran. Batik pesisiran dalam perkembangannya lebih fleksibel, mudah dipengaruhi dan tidak ada ketentuan pakem dalam pembuatan batik. Salah satu daerah penghasil batik pesisir adalah Lasem di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Batik Lasem dikenal karena unik, sangat kental dengan perpaduan dua budaya (Cina-Jawa). Keunikan dari akulturasi ini tampak jelas pada lembaran-lembaran kain batik Lasem yang dihasilkan pengusaha Batik Cina di Lasem. Batik Lasem sempat booming tahun 1900-an dengan ragam hias pada batik Lasem yang unik, dan mengalami kemunduran pada tahun 1960-an. Keunikan yang terdapat pada ragam hias batik Lasem tahun 1900-1960 dibahas secara rinci pada penelitian ini.

Batik lasem motif sekar jagad

Perkembangan Batik Lasem Cina Peranakan tahun 1900-1960 dihadapkan beberapa permasalahan yaitu 1) Bagaimana latar belakang munculnya Batik Lasem Cina Peranakan di Lasem; 2) Bagaimana perkembangan motif yang termasuk dalam Batik Lasem Cina Peranakan 1900-1960. Penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari 1) Heuristik melalui studi kepustakaan, wawancara dan observasi; 2) Kritik sejarah, 3) Intepretasi; dan 4) Historiografi.

Baca Juga: Museum Batik Pekalongan | Museum Batik Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian Batik Lasem Cina peranakan muncul karena banyak penduduk Cina yang menetap di Lasem, mayoritas orang-orang Cina bergerak dalam bidang perdagangan. Salah satu barang dagangannya adalah kain batik yang sudah berkembang di Lasem, mereka mulai mengusahakan kain batik dengan ciri khas mereka yang dipadukan dengan ciri khas Jawa. Hak istimewa yang dimiliki masyarakat Cina semakin membuat masyarakat Cina lebih ingin menunjukkan etnisitasnya melalui kain batik. Masyarakat Cina menuangkan budaya-budaya Cina yang masih dipercayai sebagai motif dalam ragam hias batik Lasem Cina Peranakan.

Batik Lasem mengalami perkembangan tahun 1900-an pada ragam hias batik lasem yang diperdagangkan sangat kental dengan unsur-unsur budaya Cina. Warna-warna yang digunakan juga dominan merah. Motif-motif yang sering muncul dalam lembaran kain batik antara tahun 1900-1930 adalah motif-motif khas Cina seperti bunga delima, ayam hutan, bunga seruni, bunga lotus, burung merak, dan burung phoenix. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1940 terlihat perubahan pada warna yang digunakan pada batik Lasem, warna-warna itu lebih bervariasi dan cerah seperti warna hijau, kuning, ungu, dan biru. Motif-motif yang digunakan juga lebih didominasi motif asli khas Lasem seperti motif sekar jagat, tambal, lereng, dan tumbuhan khas Lasem yaitu Latohan.

Batik merupakan tradisi penduduk Indonesia yang berkembang sejak masa praaksara. Kebiasaan membuat ragam hias sudah dikenal sejak masa pelukisan dinding-dinding gua pada masa praaksara dan berkembang pada masa Hindu-Buddha. Ragam hias batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Ragam hias menjadi bagian dari proses imajinasi perorangan atau kelompok, yang dipakai terus menerus akan menjadi sebuah tradisi.

Baca Juga: Cerita Asal-Usul Batik Lasem, Batik Peranakan Masyarakat Cina di Lasem

PERANAN ORANG CINA DALAM PERDAGANGAN BATIK

Batik Lasem adalah salah satu hasil kebudayaan campuran dari kebudayaan Indonesia dengan Cina. Hubungan bangsa Indonesia sudah terjalin sejak dulu dengan Cina karena adanya hubungan dagang dan persebaran agama Budha.

Migrasi yang mendorong adanya pemukiman orang Tionghoa di Indonesia dimulai sejak adanya perdagangan oleh pedagang-pedagang Tionghoa yang menggunakan perahu yungnya dari bagian Tenggara daratan Tiongkok, sedangkan pertumbuhan penduduk Tionghoa di Indonesia selanjutnya sangat erat hubungannya dengan peranannya dalam bidang ekonomi.

Migrasi orang-orang Tionghoa ke Indonesia kebanyakan adalah kaum prianya tanpa membawa sanak keluarga. Migrasi Cina ini datang dengan tujuan hendak mengadu keuntungan di Indonesia. Mereka tinggal lama di Indonesia yang menyebabkan banyaknya hubungan perkawinan dengan wanita pribumi. Keturunan berdarah campuran ini akhirnya membentuk sebuah komunitas sendiri yang kita kenal dengan Cina Peranakan. Cina peranakan umumnya sudah jauh meninggalkan budaya leluhur mereka. Cina peranakan berangsur-angsur membaur dengan penduduk pribumi dan terpengaruh dengan kebudayaan pribumi.


Menurut cerita pada masa lalu, anak buah Laksamana Cheng Ho datang ke pesisir utara laut Jawa. Utusan laksamana Cheng Ho bernama Bi Nang Un dan Na Li Ni istrinya, ketika melihat keindahan tanah Jawa, Bi Nang Un dan istrinya meminta izin untuk menetap di Jawa (daerah Bonang). Bi Nang Un dan Na Li Ni mempunyai dua orang anak yang bernama Bi Nang Ti dan Bi Nang Na. Ketika putri Bi Nang Ti dewasa dengan kepandaian yang dimiliki sebagai seorang wanita, seperti membatik, menyulam, menenun, dan membuat Jamu, membuat adipati Lasem (Badranala) saat itu tertarik dan menikahinya. Dalam kebiasaan sehari-hari, Bi Nang Ti mengajari penduduk sekitar untuk membatik, meskipun pada dasarnya perempuan Jawa sudah bisa membatik. Bi Nang Ti mengajari perempuan pribumi untuk lebih kreatif dan benar dalam teknik membatik. Pada saat inilah Bi Nang Ti memberikan corak-corak tambahan yang bernuansa dengan budaya asalnya (Cina) dan dikombinasikan dengan budaya Jawa setempat.

PEMBAURAN ORANG CINA DENGAN PRIBUMI

Pembauran antara orang Cina dengan penduduk pribumi dilandasi karena rasa keagamaan dan sifat Indonesia yang terbuka dan ramah. Akibat pembauran itu, orang Cina dapat bekerja sama dengan penduduk pribumi. Sebagai pedagang, orang Cina mengenal berbagai barang yang dibutuhkan oleh konsumen dan dituntut oleh pasar. Karena itu mereka membuat usaha rumah tangga memproduksi kain batik dengan ragam hias yang digemari oleh konsumen, tetapi juga disenangi oleh produsen.

Orang-orang Cina banyak menetap di pesisir utara pulau Jawa. Hal ini dikarenakan pelabuhan-pelabuhan besar pulau Jawa, baik yang untuk migrasi maupun untuk perdagangan, semuanya terletak di sepanjang pantai utara Jawa. Kondisi ini mendorong orang-orang Cina akhirnya banyak berinteraksi dan berpusat di daerah Pesisir Utara Jawa, termasuk di Lasem. Cina Perantauan kemudian menetap dan mempunyai keturunan di sana. Masyarakat Cina ini banyak tinggal di jalan-jalan yang strategis untuk berdagang dan hidup secara berkelompok di daerah Pecinan.


Pertumbuhan penduduk Tionghoa di Indonesia sangat erat hubungannya dengan peranannya dalam bidang ekonomi. Masyarakat Cina ingin bebas dari birokrasi kerajaan Tiongkok yang membuat orang Cina terkekang. Orang perantauan Cina ingin membuktikan bahwa orang Cina paling cocok dalam bidang perekonomian. Orang Cina mementingkan sistem nilai yang mementingkan kerajinan, kehematan, kekuatan pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan. Ketrampilan ini ditambah pula prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan dalam kehidupan bermasyarakat.

Dari abad ke-17 sampai abad 20an, pada saat pemerintahan Belanda menguasai Indonesia, kondisi perekonomian Belanda mengalami kemajuan pesat. Kemajuan ini didukung dengan sistem eksploitasi yang berjalan lancar dan teratur. Masyarakat Cina di Indonesia khususnya di Jawa, makin banyak memperoleh peranan penting sebagai pembantu kegiatan orang Belanda. Peran penting ini umumnya diberikan kepada masyarakat Cina karena orang Belanda tidak mampu melaksanakan sedangkan orang-orang Cina lebih mahir dalam hal perdagangan dan sudah melek huruf dari pada kaum pribumi. Orang Cina diperkenankan mengikuti keinginan sendiri dalam hal pekerjaan sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan menyeluruh, yang membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar sampai ke pasar-pasar desa.


Pemerintah Jawa dan Belanda yang menyadari pentingnya orang – orang Cina dalam hal perdagangan yang dapat meningkatkan pemasukan negara, maka dibuat sebuah peraturan sendiri yang mengkhususkan orang-orang Cina memiliki kedudukan administratif dan hukum yang istimewa. Dengan demikian pada setiap kota pelabuhan dan kota-kota perdagangan yang terletak di pinggir sungai-sungai memanfaatkan orang-orang Cina untuk bertugas sebagai syahbandar di daerah tersebut. Orang-orang Cina yang terkena masalah hukum akan diadili dengan mempergunakan Undang-Undang Romawi Belanda, kecuali masalah perselisihan keluarga, surat-surat wasiat yang diperdebatkan serta perselisihan yang menyangkut warisan.

Pemerintah Belanda percaya terhadap orang Cina daripada kaum pribumi karena orang-orang Cina lebih berbakat dalam dunia perdagangan yang dapat menguntungkan pemasukan kas pemerintah Kolonial. Masyarakat Cina mulai mengembangkan usaha yang ditekuni khususnya perdagangan. Barang-barang yang mereka perdagangkan salah satunya adalah batik. Cina dapat melihat peluang perdagangan batik pada abad ke-18 dan ke-19 menguntungkan, sehingga golongan etnis Cina tertarik untuk terjun sebagai pengusaha batik. Usaha batik Cina bermula dari usaha kecil, kemudian berkembang menjadi besar. Pengusaha batik Cina semula hanya berdagang untuk kalangan terbatas, yaitu untuk kebutuhan keluarga di kalangan mereka sendiri, tetapi lama-kelamaan usaha ini berkembang, sehingga dapat menguasai pasar batik pada waktu itu.

Dari hal ini diketahui bahwa pada tahun 1900-an usaha pembatikan di Lasem sangat pesat, sampai diekspor ke Singapura. Dalam usaha pembatikan di Lasem yang telah berkembang pada tahun 1900-an ini diketahui karena pengusaha atau pemilik usaha batik adalah orang Cina. Pekerja batik adalah penduduk pribumi sekitar. Pengusaha Cina mengelola usahanya secara intensif dan tertutup untuk merahasiakan resep perusahaan. Pengusaha Cina memiliki modal yang besar sehingga dapat melakukan pembelian bahan pembatikan dalam jumlah banyak, langsung dari pabrik atau melalui pedagang bahan impor.


Para pengusaha Cina pada masa penjajahan Belanda dipercaya sebagai pedagang menengah, yang menjembatani kepentingan pemerintah dan pedagang Belanda dengan pribumi. Peran pedagang Cina oleh Furnivall (Philip Kitley, 1987) digambarkan sebagai berikut “…semua yang dijual penduduk pribumi kepada orang-orang Eropa, mereka jual melalui orang-orang Cina, dan semua yang mereka beli dari orang-orang Eropa, mereka beli dari orang-orang Cina.”

Pada masa pemerintahan Belanda memang terdapat kelas tingkatan dalam perdagangan yaitu, golongan pedagang besar hampir seluruhnya ada di tangan orang-orang Eropa, perdagangan perantara ada di tangan orang Timur Asing dan perdagangan kecil hampir semua ada di tangan orang-orang Indonesia.21 Posisi ini mendorong orang-orang Cina menempati stratifikasi sosial kelas menengah sehingga lebih mudah dalam mengembangkan usahanya.

Ketika pabrik tekstil dan kimia di Eropa memproduksi bahan-bahan untuk keperluan batik, pedagang Cina dipercaya untuk berhadapan dengan pembeli pribumi. Dengan sendirinya, pengusaha pribumi akan membeli lebih mahal daripada pengusaha Cina. Sekalipun demikian, batik dari pengusaha pribumi tetap laku. Pengusaha Cina mulai berpikir untuk membuka perusahaan batik sendiri dengan harapan keuntungan berlipat ganda.

sumber: e-Journal Pendidikan Sejarah

Subscribe to receive free email updates: