Claire Holt kesulitan untuk secara tegas membagi tahap perkembangan seni budaya Indonesia, karena setiap daerah perkembangannya tidak sama. Ada daerah yang masih berada dalam tahap zaman prasejarah, ada daerah yang telah memasuki zaman modern. Namun, ia berusaha membuat periodesasinya sebagai berikut.
Peninggalan zaman batu tua (sumber: Soekmono, 1973) |
Baca juga: Sejarah Seni Rupa Zaman Pra-Sejarah di Indonesia, Zaman Logam
Seni Rupa Indonesia Zaman Prasejarah
Zaman prasejarah rentang waktunya sangat panjang sampai manusia mengenal tulisan yang kemudian disebut zaman sejarah. Zaman prasejarah Indonesia berakhir pada abad keempat dengan diketemukannya tulisan berupa prasasti pada batu. Zaman prasejarah Indonesia diklasi-fikasikan menjadi beberapa zaman sebagai berikut.
a. Zaman Paleolithikum (Zaman Batu Tua),
Zaman Paleolithikum (Zaman Batu Tua), rentang waktunya tidak jelas, wujud dan ciri peninggalannya adalah berupa alat-alat batu yang dipecah secara kasar dan diduga digunakan sebagai alat pemotong, penumbuk, dan kapak (gb.31). Periode ini merupakan yang terpanjang dalam sejarah kemanusiaan, pada zaman ini manusia hidup tidak menetap atau nomaden yaitu berpindah-pindah sebagai pemburu dan pengumpul makanan, tinggal dalam gua, menggunakan alat batu untuk keperluannya sehari-hari seperti alat pemotong, alat pemecah. Mereka sudah menggunakan api dan memiliki sistem kepercayaan dengan berpusat kepada magic dan supranatural.
b. Zaman Mesolithikum (Zaman Batu Pertengahan),
Zaman Mesolithikum (Zaman Batu Pertengahan), rentang waktunya juga tidak jelas diperkirakan 10, 000 tahun yang lalu. Wujud dan ciri peninggalannya berupa benda-benda terbuat dari tulang, kerang, dan tanduk, serta lukisan pada dinding batu dan gua, banyak terdapat di Indonesia Timur (gb. 1, dan 32). Manusia zaman ini sudah mulai bercocok tanam dan memlihara ternak. Mereka hidup berkelompok, menggunakan panah untuk berburu dan membuat manik-manik serta gerabah. Selain itu mereka juga membuat lukisan pada dinding gua-gua berupa bentuk tangan, kaki, serta binatang seperti kadal (gb. 32), kurakura, burung, dan benda-benda langit berupa matahari, bulan, serta perahu. Menurut para ahli hal ini memiliki hubungan dengan kepercayaan mereka, misalnya bentuk tangan merupakan tanda berduka jika keluarga mereka ada yang meninggal dunia. Kemudian bentuk kadal sebagai simbol nenek moyang dan di sekitarnya ada bentuk-bentuk ikan yang menandakan bahwa kehidupan mereka tergantung dari menangkap ikan.
Lukisan pada dinding gua (sumber: Indonesian Heritage) |
Bentuk kadal juga digunakan berlanjut hingga zaman sejarah, misalnya di lingkungan masyarakat Batak di Sumatera Utara, bentuk kadal dipahatkan pada daun pintu dengan empat buah bentuk mirip payudara perempuan. Bentuk ini menyimbolkan nenek moyang yang terdiri dari laki dan perempuan. Bentuk laki-laki diwakili oleh kadal disebut boraspati, bentuk perempuan direpresentasikan oleh bentuk payudara disebut bagok. Melihat dari nama boraspati diasumsikan sebagai pengaruh penamaan setelah Agama Hindu menyebar di Nusantara.
Baca juga: Seni Rupa Tradisional: Karya Seni Kriya Tradisi Wayang Kulit
c. Zaman Neolithikum ( Zaman Batu Baru),
Zaman Neolithikum ( Zaman Batu Baru) diperkirakan rentang waktunya mulai dari 2500 S.M – 1000 S.M. Periodesasinya berbeda secara geografis, misalnya Asia Tenggara berbeda dengan Asia Barat Daya. Peninggalan zaman ini di Indonesia diperkirakan banyak dipengaruhi oleh imigran dari Asia Tenggara berupa pengetahuan tentang kelautan, pertanian, dan peternakan berupa kerbau, babi, dan anjing. Alat-alat berupa gerabah, alat pembuat pakaian kulit kayu, tenun, teknik pembentukan kayu dan batu dalam bentuk mata panah, lumpang, beliung (gb.33), hiasan kerang, gigi binatang, dan manik-manik.
Alat batu peninggalan zaman Batu Baru |
Seiring dengan berkembangnya ke-terampilan dan kemampuan bercocok tanam yang dibantu oleh kerbau untuk membajak tanah, kerbau juga dijadikan sebagai binatang simbolik tentang kekuatan dan kekuasaan. Hal ini nampak hingga saat ini menjadi bagian kehidupa adat-istiadat dalam masyarakat Sumatera Barat, Kalimantan, dan Sulawesi.
Baca juga: Seni Rupa Tradisional: Sejarah, Ciri-ciri, dan Contohnya, Pengertian songket, ulos, dan lurik.
d. Zaman Megalithikum (Zaman Batu Besar),
Zaman Megalithikum (Zaman Batu Besar), pada zaman ini peninggalan yang menonjol adalah bentuk-bentuk menhir atau tugu peringatan, tempat duduk dari batu, altar, bangunan berundag, peti kubur atau sarkopagus, bentuk-bentuk manusia, binatang yang dipahat pada batu-batu dengan ukuran besar (gb.34). Peninggalan ini banyak terdapat di Sulawesi Tengah. Bangunan berundak memiliki hubungan kepercayaan kepada leluhur dan kepada yang suci, bahwa bagian yang lebih tinggi adalah tempat suci yaitu gunung. Oleh sebab itu bangunan suci, tempat pemujaan leluhur banyak dibangun pada tempat yang tinggi. Penerapan konsep ini sampai saat ini digunakan oleh masyarakat Hindu Dharma di Bali dalam membuat tempat tinggal terutama tempat suci pura.
Patung Zaman Megalitikum |
e. Zaman Perunggu (Zaman Logam),
Zaman Perunggu (Zaman Logam), waktunya diperkirakan kurang lebih 300 S.M. Peninggalan-peninggalan yang nyata dari zaman ini adalah berupa peralatan yang dibuat dari perunggu. Gambar-gambar tentang burung terdapat pada genderang, burung enggang memiliki hubungan dengan kepercayaan hidup setelah kematian dan kebangkitan. Sehubungan dengan itu burung merupakan simbol dari dunia atas, kepercayaan ini terdapat di Kalimantan dan Sumatera Utara.
Bagian atas Nakara (sumber: Museum Nasional Jakarta). |
Selain bentuk burung peninggalan zaman perunggu yang menonjol adalah benda yang disebut Nekara diduga sebagai alat upacara sehingga sampai sekarang disucikan oleh masyarakat di tempat nekara itu berada. Nekara yang terbesar saat ini berada di Pura Penataran Sasih Pejeng Bali Berdasarkan dongeng tradisi lisan masyarakat Bali menganggap nekara itu bagian dari bulan yang jatuh di Bali. Hiasan pada badan nekara banyak berupa bentuk geometris, adapula hiasan muka manusia, burung, gajah, bahkan kodok. Teknik pembuatannya diperkirakan oleh para ahli meng-gunakan teknik cetak cor yang disebut a cire perdue, dan menyebar dari benua Asia atau Indonesia bagian barat ke arah timur Indonesia sampai di pulau Alor.
Baca juga: Mengenal Macam Jenis Ragam Hias Dalam Berkarya Seni Rupa Nusantara